SEJARAH TENUN IKAT EDANG
Kain
atau lebih spesifik yang dikenal dengan pakaian adalah produk yang tidak pernah
berhenti dan selalu dikembangkan. Pakaian selalu dimodifikasi hampir setiap
hari untuk selalu mengikuti trend dan fasion yang ada.
Berawal
dari kulit kayu (a’i ama’) dan dedaunan begitulah orang kedang pertama
mengenakan pakaian. Kulit kayu dan dedaunan itu sendiri terus mengalami
perubahan dan modifikasi untuk dijadikan pakaian. Gebang( te’bu’) adalah sejenis pohon yang dimanfaatkan
daunnya untuk dijadikan pakaian. Cara pengolahannyapun mudah dimana daun
tersebut mula-mula dikeringkan dari daun gebang yang sudah kering selanjut
dipisahkan antara kulit inti dengan kulit ari. Kulit inti daun gebang (Te’bu’
lolon) ini selanjutnya dipintal dan dianyam untuk dijadikan pakaian.
Pakaian yang terbuat dari kulit inti daun gebang merupakan fasion/mode baru
saat itu dan bertahan cukup lama.
Walaupun
demikian hal ini akhirnya tergantikan pula dengan ditemukan tanaman kapas.
Ketika tanaman kapas ditemukan dan diolah menjadi pakaian maka daun gebang
hanya dapat dijadikan sebagai tali. Walaupun proses pengolahan dari kapas untuk
menjadi kain yang dapat dijadikan pakaian ada hal yang sulit namun tektur dan
kelembutan dari bahan kapas lebih baik dan nyaman sebagai pakaian maka kapaslah
bahan yang sangat sesuai sebagai bahan pembuatan kain/pakaian hingga saat ini.
Proses
pembuatan kapas sampai menjadi kain merupakan sebuah rangkaian proses yang
panjang. Kapas terlebih dahulu dipisahkan dari biji dan kotoran lainnya dengan
cara digiling dengan menggunakan alat giling atau dalam bahasa edang mehar
a’pe. Kapas yang sudah dibersihkan selanjutnya dipintal menjadi benang
dengan menggunakan alat pintal atau dalam bahasa setempat dikenal dengan nama Panu’el
prosesnya sendiri dikenal dengan nama tueng lelu.
Kapas
yang sudah dijadikan benang selanjutnya dicelupkan untuk mendapatkan warna
tertentu. Bahan-bahan pewarnaan umumnya didapatkan dari alam diantara akar
mengkudu, daun nila, akar bakau, jambu biji, mangga dan masih banyak yang
lainnya. Namun demikian dengan menggunakan pewarnaan alami memiliki rangkaian
proses yang panjang dalam kurun waktu yang lama untuk bisa memperoleh warna
yang diinginkan, selain dari itu ketersedian variasi warna yang dapat
dihasilkan pewarna alam sangat terbatas serta ketersediaan bahan yang tidak
siap dipakai, hal-hal ini menjadikan hambatan tersendiri dalam penggunaan
pewarna alami.
Masuk
pewarna buatan / sintetik dengan mudah menggantikan posisi pewarna alami. Hal
ini dikarenakan pewarna buatan memiliki variasi warna yang cukup banyak serta
bahan pewarna yang siap pakai dengan proses yang mudah namun demikian sangat
berpengaruh dan merusak lingkungan sekitar dibandingkan dengan penggunaan warna
alami.
Pada
awal mulanya benang-benang yang hasilkan langsung ditenun artinya pengetahuan
akan pewarnaan belum ada. Namun seiring dengan berjalannya waktu akhirnya
ditemukannya warna hitam sehingga kain-kain tenun yang ditemui saat itu adalah
kain yang berwarna putih dan hitam. Namun perjalanan warna berkembang begitu
cepat sehingga dengan cepat pula dihasilkan kain-kain/ sarung-sarung dengan
aneka variasi warna walaupun masih sangat terbatas.
Tenun
asli edang mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun aneka variasi motif
atau dalam bahasa setempat disebut mowaq tidak terlalu banyak. Tenunan kain-kain/
sarung-sarung dari kedang kebanyakan tidak terlalu banyak motiv. Biasanya motiv
untuk satu sarung hanya ada pada dua bagian yakni pada bagian atas dan bagian
bawah sarung (wela) atau oleh orang kedang menyebutnya wela
garumba dan ada juga motiv yang dihasilkan dengan cara diangkat sama
hal dengan menganyam sarung jenis ini oleh orang kedang menyebutnya wela
bitiq.
Untuk
motiv itu sendiri orang kedang tidak memiliki ciri khsusus atau tepatnya
dibilang khas. Dominan motiv pada umumnya adalah motiv ruit, periuk tanah,
rusa, namun akhir-akhir ini sangat jarang ditemukan motiv-motiv tersebut.
Motiv-motiv saat ini sudah melampau batas budaya/cultur setempat, terkadang
motiv yang dibuat tergantung pada sipemesan. Hal ini tentu sangat berpengaruh
pada hilangnya sejarah motiv asli kedang itu sendiri. Walaupun
kolaborasi/variasi motiv yang dihasilkan saat ini masih memilki daya tarik
seperti motiv garuda, motiv ikan paus dan sebagainya namun motiv-motiv tersebut
belum mencirikan ke khasan tenun kedang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar