Tampilkan postingan dengan label KAJIAN BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Oktober 2014

EDANG/KEDANG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA



Suku EDANG Lembata Nusa Tenggara Timur
OLEH: Alexius Dato, ST



Suku EDANG atau juga dikenal dengan sebutan Suku KEDANG hal ini disebabkan oleh pengaruh dialeg lamaholot hal ini dipengaruhi oleh salah satu faktor yaitu perkawinan campur. Suku EDANG adalah salah satu suku yang terdapat di kabupaten Lembata, tepatnya di sebelah timur Lembata di provinsi Nusa Tenggara Timur dengan populasi diperkirakan sekitar 20.000 orang.

Suku EDANG adalah penduduk asli kabupaten Lembata provinsi Nusa Tenggara Timur
. Populasinya menyebar didua wilayah kecamatan yakni di kecamatan Omesuri dan kecamatan Bayusuri. Bahasa EDANG berbeda dengan bahasa-bahasa yang digunakan suku lain di Kabupaten Lembata, sehingga bahasa indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar antara suku Kedang dengan suku-suku lain.

Masyarakat suku EDANG pada umumnya menganut anutan kepercayaan sebelum masuknya misionaris dari eropa sekitar tahun 1900 yang membawa pengaruh agama Kristen. Saat ini masyarakat suku EDANG umumnya memeluk agama Kristen terutama Kristen Katolik. Walaupun sebagian besar suku EDANG memeluk agama Katolik namun dalam keseharian praktek anutan kepercayaan tetap masih terpelihara dengan baik karena merupakan satu kesatuan dengan adat dan tradisi setempat. Salah satu praktek anutan kepercayaan yang masih terpelihara dengan baik yakni dalam bahasa Edang dikenal dengan sebutan Poan Kemar (Upacara Penyembuhan/Tolak bala) atau dikenal dalam istilah “Tueng moleng balo laen.”

Rumah Adat suku EDANG
dikenal dengan sebutan Ebang, Ebang merupakan bentuk identitas diri yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat suku EDANG. Ebang juga merupakan simbol kebersamaan. Rumah/ Ebang ini ada hampir dimiliki di semua kampung pemukiman suku EDANG. Rumah adat/ Ebang, memiliki bentuk lonjong dan segi empat. Rumah adat/ Ebang terbuat dari bahan lokal yang didominasi oleh bambu dengan kayu yang berbetuk balok sebagai pendukung, atapnya terbuat dari rumput alang-alang. Rumah adat /Ebang dilengkapi pula dengan sebuah bale-bale besar, tempat untuk bermusyawarah. Rumah adat Ebang terdiri dari 4 tiang/tonggak utama dilengkapi dengan lawen (papan berbentuk bundar) yang berfungsi untuk menahan hama tikus atau binatang pengerat lainnya agar tidak masuk ke dalam lumbung.


Rumah adat /Ebang memiliki beberapa fungsi baik sebagai tempat untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam istilah setempat dikenal dengan istilah a’tutuq tin teheq selain itu Ebang juga sebagai lumbung pangan, tempat untuk menyimpan hasil panen, benda-benda pusaka. Hasil panen disimpan di loteng yang terbagi dalam bilik-bilik /kamar berukuran kecil atau dikenal dengan sebutan lutu, yang terbuat dari bambu. Di tempat ini disimpan bahan pangan seperti padi, jagung dan kacang-kacangan.
Selain itu, Ebang juga merupakan simbol perdamaian dan pemersatu keluarga dan masyarakat. Biasanya, dalam urusan adat, pejabat pemerintah turut diundang hadir untuk menyaksikan penyelesaian adat oleh para tetua adat. Di tempat ini semua masalah akan dibicarakan secara terbuka dan dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan.

Masyarakat suku Kedang pada umumnya adalah petani. Pertanian dikerjakan pada lahan kering atau di ladang. Mereka menanam jagung sebagai tanaman utama, palawija, ubi, pisang dan lain-lain. Peralatan  pertanian yang digunakan, masih menggunakan alat yang sederhana, seperti tofa dan parang. Musim tanam hanya sekali dalam setahun, sehingga di waktu tidak menanam, mereka melakukan kegiatan menangkap ikan, tenun ikat dan kegiatan penunjang ekonomi lainnya.

Hukum adat suku EDANG masih memiliki peran yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini nampak jelas dalam praktek keseharian, hukum dan sanksi adat masih diberlakukan dan masih dijunjung tinggi tanpa mengabaikan hukum dan peraturan pemerintah yang berlaku. Sanksi-sanksi adat diberlakukan untuk pelaggaran yang berhubungan dengan tradisi atau adat setempat, biasanya sanksi berupa gong, gading, sarung dan sejumlah hewan. Hal ini kadang diberlakukan juga untuk sanksi-sanksi pemerintah karena melanggar peraturan tertentu dengan sanksi yang hampir sama dengan perwujudan yang sedikit berbeda dimana sanksi dapat berupah semen, batu, pasir dll. Ini adalah sebuah kearifan lokal yang harus tetap dipertahan mengingat nilai adat dan tradisi masih dijunjung tinggi sehingga lebih memberi efek jera yang merupakan dampak positif dari hukum adat itu sendiri.